Everything Come with a Reason!
Hai......
Akhirnya, selamat datang dalam hidupku.
Meskipun kita sudah bersama hampir selama tiga tahun, tapi kali ini aku setuju kita berteman.
Meskipun sejak mengenalmu, banyak hal berubah dalam hidupku.
Sejak kau dihari-hariku, aku harus banyak belajar tentang "melupakan".
Demimu, aku melupakan betapa sedapnya semangkuk bakso urat,
atau ibuku yang akan dengan sigap mengalihkan perhatian saat aku hanya bisa menonton orang lain menikmati durian montong.
hahahhaha...ya, aku juga jadi mulai menyingkirkan daging dan susu sapi dalam menu makananku.
well....it doesn't matter kok :)
Mungkin selama ini aku memang kurang peduli. Tak sedikitpun yang ingin aku ingat
tentangmu.
Bukan karena tak penting, tapi mengabadikanmu dalam tiap catatan hidupku
rasanya akan membuat aku terlihat menyedihkan. Atau tentang keegoisanku
yang sempat menganggap ini seperti sebuah aib memalukan akan takdir Tuhan.
Terlebih saat kau menjadi penguji pada tiap kesetiaan untuk dapat menerima keadaanku. How amazing...mengetahui siapa yang sebenarnya menerimaku "apa adanya" dan siapa yang melihatku "ada apanya". It's Ok, bukankah ini yang dinamakan pilihan? :)
Terlebih saat kau menjadi penguji pada tiap kesetiaan untuk dapat menerima keadaanku. How amazing...mengetahui siapa yang sebenarnya menerimaku "apa adanya" dan siapa yang melihatku "ada apanya". It's Ok, bukankah ini yang dinamakan pilihan? :)
Pergi. Mungkin ini adalah sebuah konsekuensi. Apa boleh buat, aku tak boleh memaksa.
Sakit..? sudah pasti.
Tapi kusadari aku tak lantas bisa menggugat Tuhan, ini hak prerogatif-Nya padaku.
Tapi kusadari aku tak lantas bisa menggugat Tuhan, ini hak prerogatif-Nya padaku.
Bertanya, "oohh...God, why me?" adalah sebuah kebodohan, apa jadinya jika Allah sampai menjawab, "why not?". Hal yang lebih buruk mungkin saja terjadi. Tak apa...toh akhirnya semua mengajarkanku tentang ketulusan kan?! :)
Allah yang paling berhak. Kun fayakun!
Dan tahukah kamu...teman, kuakui ibuku memang dokterku yang paling perhatian dibanding dokter manapun. Setahun bersamamu aku sepertinya mulai merasa sebagai ahli dedauan. Berkat ibuku, tentu saja.
Ya, ibuku juga apoteker terkeren yang tak pernah luput mencari obat apa yang paling baik untuk pasiennya ini. Bagaimana daun-daun ini menjadi pendamai diantara kita, selain obat dan vitamin-vitamin yang mulai jarang kutebus. Bukan karena aku putus asa pada dokterku, tapi karena aku ingin ginjalku juga bisa sehat lebih lama.
Saat itu juga, aku sadari betapa Ayah begitu mengkhawatirkanku. Beliau yang paling rajin mengingatkanku untuk tetap optimis dalam do'a, sebagaimana mereka juga menitipkanku dalam tiap do'a padaNya. Tiga jam menungguku bersama keluarga diluar kamar operasi
mungkin sangat membuat perasaannya tak beraturan. Barangkali itu juga
alasan yang membuatnya tiba-tiba langsung mencium keningku saat aku
mulai tersadar di kamar rawat. Sebuah kehangatan yang sudah lama sekali
tak pernah ia lakukan lagi pada anak-anaknya. Oh my...itulah saat dimana aku tak bisa berkata-kata. Suaraku kalah cepat dengan air mata.
Dan...berkatmu juga kawan, kini aku makin menghargai banyak hal. Bahwa kesehatan adalah hal yang amat mahal. Tentang hidup yang terlalu sayang untuk disia-siakan tanpa kebaikan. Juga tentang kasih sayang dan cinta yang sekejap saja bisa mengunci suara dan membocorkan kantung airmataku.
0 komentar:
Posting Komentar