Rabu, Maret 21, 2012

Sering kita dengar petuah, “masalah tidak akan mudah diselesaikan jika dihadapi dengan kekerasan”.
Memang, karena pada dasarnya, sikap dan reaksi marah yang tidak tepat hingga menimbulkan kekerasan itu saja sudah merupakan sebuah masalah sendiri, bagi pemiliknya.

Beberapa hari yang lalu, sebuah berita “kemarahan” kembali mencuri perhatian publik.
Bukan…,
bukan tentang demo anarkis mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM, bukan tentang aksi reaktif anggota dewan yang sibuk membela diri menutupi korupsinya, juga bukan berita perkelahian artis ibukota yang tidak pernah habis tayang di infotainment.
Bukan itu.

Mungkin lelah kita menyimak berita tak menyenangkan setiap hari, kriminalitas masyarakat yang makin menjadi hingga para pejabat yang makin tak berbenah diri.
tapi yang ini, lain lagi:
Ini tentang seorang menteri yang “mengamuk” di jalan tol.
Jujur, berita pagi itu membuat saya tersenyum.
Bukan senyum menyindir seperti saya menyimak para politisi yang selalu ingin menang sendiri.
Tapi aksi beliau (kembali) mengejutkan saya, excited!

aksi Dahlan Iskan di pintu Tol Semanggi (www.hariansumutpos.com)
Ya, saya yakin berita ini juga sudah tidak asing lagi.
Sekedar untuk menyegarkan ingatan kita, ini tentang liputan berita di beberapa channel televisi beberapa waktu lalu, yang menanyangkan aksi seorang Dahlan Iskan yang pada suatu pagi dengan gusar mendatangi penjaga pintu tol Semanggi.
Apa yang beliau lakukan memang bukan tanpa alasan, lelahnya menunggu antrian kendaraan yang sempat mengakibatkan kemacetan panjang itu membuatnya tak tinggal diam. Saat mencari tau penyebab antrian tersebut, ia semakin dibuat memerah karena ternyata dua dari empat pintu tol tidak dibuka karena penjaga pintu belum datang!
 “ooohh…my God, what the hell?”
#dalam benak saya, “masalah klasik, Indonesia banget deh…! Kalo bukan soal mencontek, ya telat. (bibit-bibit korupsi tuh!)”
*jadi teringat, bagaimana akhirnya saya menyangkal pengetahuan sejak dulu bahwa jalan tol adalah jalan bebas hambatan, ternyata saya merasakan kemacetan juga selalu ada disana. Mengecewakan!

Dan masih dengan marah, ia sempat bembanting kursi di ruang loket penjaga. tak hanya itu, ia lantas membuka paksa dua palang pintu tol yang masih tertutup itu untuk bisa dilewati kendaraan yang sudah menunggu lama. Dan hasilnya, seratusan mobil bebas melintas di pintu tol tersebut. Tentu saja, tanpa perlu membayar alias GRATIS!!!

Wow……..ini baru pejabat jempolan!
Sebuah marah yang membangun.
Setidaknya ini menjadi koreksi bagi pihak terkait agar lebih memperhatikan tanggung jawabnya, untuk Indonesia yang lebih baik, tentu saja.

Dahlan Iskan ketika dipanggil Presiden SBY untuk diangkat sebagai Menteri BUMN
(politik.kompasiana.com)
 Saya jadi terpikir, seandainya ada Dahlan Iskan-Dahlan Iskan lain yang hidup dalam jiwa-jiwa pejabat lainnya.
Yang tak harus bermobil mewah untuk berangkat melayani masyarakat.
Yang tak hanya prihatin dari balik meja atas kondisi negara.
Yang bersedia membela rakyat dan tak pandang kastanya.
Sadarkah bahwa pemimpin seperti itulah selalu yang dirindukan?
berjiwa besar memberi sebuah keteladanan.

 Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardhi, pemimpin di muka bumi.
Sudah seharusnyalah menjadi contoh baik bagi masyarakatnya, lingkungannya, keluarganya, dan dirinya sendiri.



Jumat, Maret 16, 2012

Jika saya adalah seorang presiden Indonesia, saat ini, saya pastikan surat ini jadi tamparan pedas buat saya.
Terlalu nyata untuk menyebut tulisan ini sebagai sebuah karangan belaka,
ini adalah suara hati seorang rakyat yang (sebenarnya) cinta pada negerinya, presidennya.
semoga bisa menginspirasi kawan-kawan pembaca, dan tentunya presiden kita.

Untuk (Tuan) Presiden
by: Fahd Djibran
Pak Presiden yang baik,

Tentang kenaikan harga minyak, kami mungkin tidak pandai berhitung: Bagaimana sebenarnya harga minyak ditentukan? Bagaimana neraca perekonomian nasional diperlakukan? Atau pertimbangan apa yang dipakai sehingga satu-satunya pilihan untuk ‘menyelamatkan seluruh bangsa’ harus sama dan sebangun dengan menaikkan harga-harga? Bagi kami, angka-angka selalu terdengar sebagai ilusi belaka, Pak. Setiap hari kami mendengar satuan ‘miliar’ atau ‘triliun’ disebutkan dalam berita-berita, tanpa pernah benar-benar melihatnya dalam bentuk yang sesungguhnya—apalagi menghitungnya satu per satu.

Hidup kami sederhana, disambung lembaran-lembaran uang recehan. Ilmu hitung kami kelas rendahan: berapa untuk makan sehari-hari, uang jajan anak sekolah, biaya transportasi, biaya listrik bulanan, dan kadang-kadang cicilan motor, dispenser atau DVD player. Tak perlu kalkulator. Bila sedang beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalan di akhir pekan. Bila sedang sulit, kami tidak kemana-mana, Pak: Kami mencari kebahagiaan gratisan di televisi—meski kadang-kadang justru dibuat pusing dengan berita-berita tentang beberapa anak buah Bapak yang korupsi.

Tahukah Bapak, dalam televisi, juga koran-koran dan majalah: kami seperti tak punya presiden! Kami seperti tak punya pemimpin! Negara ini terlanjur dikuasai para bandit, Pak!

Ah, mungkinkah Bapak tak sempat menonton TV atau membaca koran sehingga Bapak tak mengetahuinya? Tapi, kemana saja sih Bapak selama ini? Mengapa hanya muncul untuk bernyanyi, mengucapkan belasungkawa, atau membacakan pidato-pidato bernada lemah yang berisi kabar buruk, permohonan maaf, dan keprihatinan?

Kami, rakyat biasa, sesekali butuh kabar gembira, Pak! Kadang-kadang kami berkhayal bahwa jangan-jangan kami sedang hidup dalam sinetron? Mungkinkah yang berpidato di televisi itu bukan Bapak—tapi kembaran Bapak yang menyamar atau tertukar? Mungkinkah kepala Bapak terbentur batu dan lantas hilang ingatan? Tetapi, tentu saja itu bukan kabar gembira.

Pak Presiden yang baik,

Kelak bila harga BBM naik, dengan gagah dan baik hati konon Bapak akan memberi kami kompensasi: Bapak akan membuat kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan agar kami tak merasa kesulitan. Tapi, pikiran kami sederhana saja, Pak, benarkah Bapak suka melihat kami mengantre—panjang-mengular dari Sabang sampai Merauke? Kami tidak suka itu, Pak. Kami tak suka terlihat miskin, apalagi menjadi miskin. Kalau memang Bapak punya uang untuk dibagikan kepada kami, pakailah uang itu, kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan ‘perekonomian nasional’ yang konon sedang gawat itu. Tak perlu naikkan BBM, pakailah uang kami itu: kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan bangsa!

Bila perlu, berdirilah di hadapan kami, katakan apa yang negara perlukan dari kami untuk menyelamatkan kegawatan bencana ekonomi negara ini? Bila Bapak perlu uang, kami akan menjual ayam, sapi, mesin jahit, jam tangan, atau apa saja agar terkumpul sejumlah uang untuk melakukan pembangunan dan penyelamatan perekonomian bangsa. Bila Bapak disandra mafia, pejabat-pejabat yang bangsat, atau pengusaha-pengusaha yang menghisap rakyat, tolong beritahu kami: siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantumu melenyapkan mereka. Tentu saja, semoga Anda bukan salah satu bagian dari mereka!

Pak Presiden yang baik,

Dengarkanlah kami, berdirilah untuk kami, berbicaralah atas nama kami, belalah kami: maka kami akan selalu ada, berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja untuk membelamu. Berhentilah berdiri dan berbicara atas nama sejumlah pihak—membela kepentingan-kepentingan golongan. Berhentilah jadi bagian dari mereka yang akan kami benci sampai mati. Jangan jadi penakut, Pak Presiden, jangan jadi pengecut!

Buanglah kalkulatormu, singkirkan tumpukan kertas di hadapanmu, lupakan bisikan-bisikan penjilat di sekelilingmu! Lalu dengarkanlah suara kami, tataplah mata kami: tidak pernah ada satupun pemimpin di atas dunia yang sanggup bertahan dalam kekuasaannya jika ia terus-menerus menulikan dirinya dari suara-suara rakyatnya!

Pak Presiden,

Sekali lagi, tentang kenaikan harga minyak, barangkali kami memang tak pandai berhitung. Tapi, sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk memutuskan mencintai atau membenci sesuatu; termasuk mencintai atau membencimu!

(jika ingin me-repost tulisan ini dan disebarkan seluas-luasnya, dipersilahkan! :)
Thanks for allowing me to repost, ya Fahd!  :)

Minggu, Maret 11, 2012


Ini sebuah tautan yang dibuat oleh kawan saya (dan bisa saya pastikan bahwa karya gila ini adalah sebuah kebanggaan besar buat dia). Berawal dari sebuah obrolan via chatting facebook, dan seperti biasa...gak lengkap rasanya kalo belum keluar jailnya.
Diawali dengan sedikit basa-basi... bertanya kabar, bla..bla..bla.. 
dan TADAAAAAAAAAAAAA......... di sini ujungnya;


dasar gembul,,
kawannya berduka gini masih bisa dipake becanda.
tapi jujur, saya mpe ngakak guling-guling bacanya.
sambil ngomong dalem hati,
"sial...emang segitu nelangsanya saya?!"
(heran...sempet-sempetnya ni anak survei luas wilayah dulu, macam petugas sensus penduduk aja!)

hehehehehhe....
nice guy,
tunggu pembalasan saya...!!! 



aku pikir...
aku akan bisa bersamamu di akhir pekan,
menemanimu atau sekedar jalan-jalan,
puas melepas penat di tepi pantai,
lalu mencari warung seafood favorit kita,
seperti katamu, bertukar menu...
berdua saja.

aku mau...
selalu lebih dulu membukakan pintu
saat kau pulang ke rumah mungil kita,
menyambutmu dengan secangkir teh melati hangat,
sambil memijat pundak letihmu,
hingga tak jarang kau tertidur...

aku ingin...
merapikan kemeja dan dasimu
yang seringkali tak kau perhatikan,
aku yang setiap pagi menyemangatimu dengan sarapan buatanku,
dan mengantarmu sampai depan pintu sambil merangkulku.

aku...
yang setia membangunkanmu dengan mesra,
mengecup keningmu agar kau cepat terjaga,
akulah...orang pertama yang akan kau tatap saat matamu membuka.

dan aku kini...
yang nyatanya hanya sedang bermimpi,
yang menemuimu dan mengajakmu merangkai hari,
tapi hanya dalam hati...

aku,
yang menyadari...
cerita ini sudah selesai, bahkan sebelum semuanya sempat dimulai...




Sabtu, Maret 10, 2012


pernah patah hati?
aku baru tau,
ternyata ngilu….
di sini nih….di atas lambung, di tengah dada, sedikit ke kiri

sejurus, ngilunya menjalar-jalar
lewat pembuluh darah
nyebar dari atas sampai ke bawah

melumpuhkan sistem kerja otak kiri,
pengen ngomong macem-macem tapi gak satu katapun yang terurai
semuanya ngumpul di kepala, saling tindih, desak-desakan, sibuk sendiri

bisa ditebak ujungnya, otak kanan yang bekerja
menyetir emosi...
bikin perintah dadakan ke kelenjar airmata
entah dapet pasokan darimana,
seenaknya maen ngalir, kayak banjir

jadi repot kan?
bantal basah…
buang-buang tissue…bikin sampah
mata merah…
nyisain bengkak…besok pagi