Rabu, Mei 02, 2012

Curhat Dikit... (di HarDikNas)

Berawal dari pengalaman saya sewaktu masih duduk dibangku sekolah, saya pernah mengalami bagaimana rasanya sebuah kesenjangan pendidikan. Sebagai seorang siswa sekolah dasar pindahan dari Bali, dengan kualitas pendidikan yang baik, ke sebuah daerah kecil di ujung timur Nusa Tenggara Barat, di mana bahasa pengantar mengajar saja masih menggunakan bahasa daerah.

Di Bima, daerah tempat saya akhirnya belajar, saya mengalami bagaimana minimnya fasilitas pendidikan di sana. Bahan-bahan ajar yang terbatas, hingga kondisi ruang belajar yang tidak nyaman. Saya pun pernah mengalaminya. Bagaimana belajar dalam ruang kelas yang gelap, dengan langit-langit ruangan yang bocor dan rusak, dinding kelas yang langsung bergetar saat seorang dari kami bersandar, hingga pengalaman bagaimana salah satu ruang belajar kami ambruk karena atap yang sudah rapuh dimakan usia.

Sebanyak itu pengalaman yang saya kumpulkan tentang kondisi belajar di daerah saya. Meski ingin rasanya saya katakan bahwa kualitas pengajar di tempat kami jauh dari keterbatasan, namun sayangnya hal ini pun menjadi masalah yang nyatanya tak mudah dipecahkan. Seingat saya, kala itu tidak banyak pengajar yang serius mendedikasikan dirinya untuk ilmu. Saya sama sekali tidak ingin menghakimi siapapun, termasuk pendidik-pendidik yang selama ini sudah berjasa atas isi kepala saya. Namun saya juga tak mampu berbohong jika ada rasa sedih saat menemukan ada pendidik yang seakan mengajar kami sekedar untuk melunasi kewajiban mengajar sesuai jam yang ditetapkan. Atau mereka yang seringkali meminta kami hanya mencatat sepanjang jam pelajaran, yang materinya jelas-jelas ada di buku teks yang kami miliki.

Saya sadar, itu juga bagian dari ilmu. Tapi bukankah waktu belajar yang singkat di sekolah akan jauh lebih bermakna jika diisi dengan proses transfer ilmu yang maksimal juga? Yang belum tentu bisa kami perolah hanya dengan menbaca buku teks pelajaran? Bukankah disitulah pentingnya peran sebagai pendidik? Ya, mungkin ini terdengar seperti sebuah curahan hati. Tapi ini nyata.

Masih membekas dalam hati ini, bagaimana guru saya memberikan selembar kertas berisi jawaban soal-soal ujian nasional pada kawan-kawan sekelas, termasuk saya. Saat itu pula saya merasa perjuangan belajar selama ini seperti sia-sia. Kompetisi keilmuan itu seketika berubah bak belajar kelompok, atau mencontek massal tepatnya. Sakit hati, tentu saja.

Saya pikir, ini hanya masalah percaya diri. Kekurangseriusan mereka dalam mendidik membawa sebuah kekhawatiran akan nilai ujian akhir kami. Barangkali benar jika sarana penunjang pendidikan di sekolah saya tidak sebaik sekolah-sekolah di perkotaan. Namun saya yakin, semangat belajar kami pasti sama. Tinggal bagaimana para pendidik bersedia mencurahkan seluruh kemampuan, keilmuan, dan semangat untuk mendedikasikan diri sebaik-baiknya.

Saya ingin bercermin pada sebagian guru-guru saya saat SMA yang dengan sepenuh hati bertekad memandaikan kami. Tanpa kenal lelah, tanpa pamrih. Mengajar dengan senang hati. Dan entah ini kebetulah atau memang sebuah keniscayaan, sebagian besar mereka adalah guru-guru yang datang dari pulau Jawa. Guru yang terdidik dari pengalaman belajar khas daerah dengan mutu yang jauh lebih baik. Meski tidak salah, kota besar memang mampu membuka wawasan seseorang menjadi semakin luas. Namun saya yakin, ini bukan semata masalah dimana mereka dulu mengenyam pendidikan, ini tentang kemauan mendedikasikan diri untuk ilmu. Semua orang pasti bisa.

Dengan adanya pengajar yang sepenuh hati mendidik, saya yakin akan ada banyak siswa yang sepenuh hati belajar. Setiap hari memupuk cita-cita. Sekuat tenaga pula menggapainya.
Pengalaman-pengalaman itulah yang membuat saya menanam sebuah harapan untuk bisa membuat anak-anak di daerah ini kembali percaya diri dan berani bermimpi. Bahwa mereka pun bisa dan layak mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang tidak kalah dengan siswa-siswi di perkotaan.

0 komentar: