Sabtu, September 22, 2012

Who Wants To Be a Journalist?

(sumber: merdeka.com)

Adakah di antara kalian yang sangat amat bercita-cita menjadi seorang jurnalis?

Barangkali banyak diantara kita (termasuk saya) membayangkan bahwa menjadi jurnalis itu pasti menyenangkan. Bebas meliput dengan berbekal indentitas Pers, bisa mewawancarai tokoh-tokoh terkenal, bahkan bisa jalan-jalan gratis untuk liputan plus dapat uang.
ya kaaaaan...? :))

Tapi pernahkah kalian membayangkan kondisi sebaliknya?
apa yang ada di benakmu ketika kamu harus ditugaskan ke daerah konflik?
jlegggerrrrrrrr.........shock kah??
menolak?
atau pasrah?

baca selengkapnya...

it's all about your commitment as a journalist....guys!  :)

sedikit prolog: pagi tadi saya baru saja menghadiri undangan soft opening Communication Awards 2012 yang diadakan teman-teman KOMAKOM UMY. Rasa kangen mendorong saya untuk dengan senang hati hadir di sana.
Ternyata setelah acara pembukaan event tahunan kebanggaan kami ini, langsung dilanjutkan dengan acara seminar nasional. "Lumayan....ilmu gratis nih...", batin saya :))
Seminar dengan tajuk Jurnalisme Konflik ini menghadirkan Noni Sunarni dari Pecojon (peace and conflict journalism network) dan Bambang MBK (Aliansi Jurnalis Independen). Dua narasumber ini banyak bercerita bagaimana prinsip sebagai wartawan saat meliput sebuah konflik. Sebagai pembicara pamungkas, ada Fery Santoro (Juru Kamera RCTI).

"tunggu....Fery Santoro? Juru kamera RCTI?", ingatan saya tiba-tiba melayang ke beberapa tahun silam tentang sebuah peristiwa penyanderaan dua jurnalis RCTI.
Yap, benar saja dugaan saya, beliau memang salah seorang jurnalis yang sempat ditugaskan meliput di daerah konflik sekaligus saksi hidup dengan pengalaman sebagai tawanan. 

Ketimbang disebut seminar, pertemuan kami dengan Fery Santoro lebih asik disebut sebagai momen berbagi pengalaman. Sebelumnya, sebuah video diputar tentang liputan mereka (Ersa dan Fery) saat berada di Aceh, bagaimana mereka menjadi sandera GAM, hari demi hari pencarian, pertemuan sesaat dengan rekan-rekannya, hingga kabar duka kematian Ersa Siregar, disuguhkan lengkap sebagai sesi pembuka sebelum kami mendengar secara langsung tentang pengalamannya. Ada yang masih ingat kisahnya?? :)

Kira-kira sekitar tahun 2003-2004, berbagai siaran media elektronik dan cetak sempat dipenuhi dengan peristiwa penyanderaan dua jurnalis dari stasiun RCTI, Sori Ersa Siregar (reporter) dan Fery Santoro (kameraman) oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saat mereka tengah meliput kegiatan para pengungsi di Aceh.

Berbulan-bulan menghilang tanpa kabar yang jelas tentang kondisi kedua jurnalis ini, membuat berbagai pihak terus melakukan pencarian ke berbagai pelosok Aceh. Ratusan hari mereka hidup berpindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, gunung yang satu ke gunung yang lain, dengan penjagaan yang ketat dan ancaman peluru, tentu saja.

Pada sesi berikutnya, Fery lebih banyak berkisah tentang bagaimana penyanderaan itu bisa terjadi dan bagaimana pula ia "memotret" kondisi saat menjadi tawanan lebih dari 300 hari itu.
Meski ia sendiri mengakui bahwa selama berada dalam tekanan GAM, mereka diperlakukan dengan baik. Beberapa kali mereka dibolehkan menelpon, sampai diijinkan turun ke kampung untuk memantau situasi lewat layar televisi.

Hingga suatu ketika, di bulan Desember 2003, saat Ersa dan Fery tengah beristirahat disebuah saung di tengah rawa, tiba-tiba suara tembakan berdesing tanpa henti. Ya, rentetan tembakan itu datang dari para TNI yang melihat keberadaan kelompok GAM (tanpa mengetahui bahwa ada warga sipil disekitarnya). Ia menggambarkan bagaimana kaget dan takutnya mereka kala itu. Sejurus Fery melompat ke kubangan rawa di bawah saung bersama Ersa. Ia pun juga berkisah bagaimana ia merasakan peluru melesat di bawah kaki dan di atas kepalanya.


"Pasrah dan berdoa", itu yang ia katakan.
Sambil mengajak kami membayangkan peristiwa itu, jelas terlihat masih ada raut trauma diwajahnya. Begitu juga dari bahasa yang terbata saat ia bercerita.

Namun malang bagi karibnya, Ersa Siregar, sepertinya ia tak seberuntung Fery. Dua peluru berhasil menembus dada dan lehernya. Tidak banyak yang ia ceritakan tentang rekannya itu, pun kami tak banyak bertanya terlalu jauh. Walau sebetulnya kami sangat penasaran, namun kami lebih memahami kesedihan (bahkan mungkin ketakutan) mendalam yang sempat beliau alami.

Kisahnya pun berlanjut hingga Fery melarikan diri ditengah hujan peluru TNI. Dengan baju yang sobek-sobek, tubuh yang berlumpur dan penuh luka, ia merayap di rawa-rawa hingga dapat sampai ke dalam hutan. Singkat cerita ia bertemu warga sipil pemilik kapal yang sempat meminta perlindungan pada pihak GAM, menyeberangi berbagai sungai untuk menyelamatkan diri, hingga akhirnya ia tertangkap lagi dan kembali menjadi sandera GAM.

Peristiwa demi peristiwa terus mengalir....semakin membangunkan kenangannya.
Kami, yang turut larut, dengan antusias terus mendengarkan.

Ya, negosiasi antara perwakilan TNI dan pihak GAM dalam usaha pembebasan para sandera terus dilakukan. Hingga GAM menyetujui pembebasan tersebut dengan syarat penjemputan harus dilakukan oleh tim PMI. Dan pada Juni 2004, kisah ini pun berujung dengan proses negosiasi dan pembebasan Fery Santoro.

Itulah.......sekelumit kisah hidup seorang jurnalis yang dialami Fery Santoro dan Alm. Ersa Siregar.
Sangat menegangkan, penuh tantangan, penuh perjuangan, dan air mata. Meski mereka harus tampak tetap tegar dan terlihat baik-baik saja dihadapan kamera (saat satu kali mereka diijinkan bertemu rekan-rekannya yang datang menjenguk), agar keluarga mereka di rumah tak menanti  dengan resah.

Fery Santoro, saat hari pembebasannya, Juni 2004 (gambar: dokumen ICRC Jakarta)

So...back to the topic, who wants to be a journalist?
who dares to face all the consequences?

you?


Tulisan ini saya buat bukan untuk menakut-nakuti atau membuat siapapun mengurungkan cita-citanya untuk menjadi jurnalis. Sama sekali tidak!
Sejak saya belajar tentang dunia jurnalistik saat di kampus, saya sadar betul ini adalah pekerjaan yang mulia.
Mulai dari pressure pekerjaan yang luar biasa, banyaknya godaan dan tantangan yang tak kalah gilanya, tapi ia juga mampu membangun prestige yang tak terhingga.

Justru melalui pengalaman berharga yang dikisahkan langsung oleh mas Fery Santoro inilah yang mungkin akan semakin membulatkan tekad para calon pemburu berita sejati untuk lebih berdedikasi pada apapun yang menjadi amanahnya.

Jika menjadi jurnalis, maka jadilah jurnalis yang tangguh dan kuat. Medan seorang jurnalis tidak hanya ada di atas kertas atau di tuts keyboardnya saja. Tetapi bisa di jalanan, di pasar, atau di laut, mungkin di udara, bahkan mungkin di hutan. Entah di tempat yang penuh sesak, mungkin juga di tempat yang gelap nan sunyi senyap. Semua itu membutuhkan nyali yang tangguh dan fisik yang kuat, bukan?

Jurnalis juga harus cerdas. Tidak sekedar pandai menulis berita, namun juga cerdas untuk menilai kebenaran. Meski hampir semua jurnalis mengerti istilah cover both side dalam sebuah berita~keberimbangan berita dari sisi-sisi yang berbeda, namun pada prakteknya tetap ada banyak kepentingan yang bisa menyetir sehingga konten berita menjadi tidak independen lagi.

senada dengan sebuah petikan quote yang menarik saya dapat hari ini:
"Media itu tidak netral. Media itu berpihak, pada kebenaran yang objektif!"
(Bambang MBK, Aliansi Jurnalis Indonesia)

Terakhir, seorang jurnalis yang baik adalah mereka yang setia pada kode etiknya. Selain tentang sebagaimana berita yang disuguhkan pada halayak haruslah berimbang, hal-hal lain yang menyangkut kode etik jurnalistik pun harus dijunjung. Kejujuran, kebenaran, dan sebagainya. Sebab disitulah harga diri seorang jurnalis akan ditantang.

Ada quote menarik yang juga sempat saya catat dari acara tadi pagi:
"Sekali terjun menjadi seorang jurnalis...jangan setengah-setengah,
yang penting harus siap"

(Fery Santoro, kameraman RCTI ~ mantan tawanan GAM)
"Saat tekad sudah memilih menjadi jurnalis, maka nikmatilah.
Rasakan soul-nya...!" 

(Noni Sunarni, Jurnalis independen-member Pecojon)

Pun jika kita memilih jalan yang lain, maka bertanggungjawab dan setialah pada pilihan itu dengan sepenuh hati. Sebab hidup adalah tentang memilih, dan setiap pilihan akan selalu disertai dengan tantangan dan hikmahnya.

Kesimpulannya....
saya petikkan lewat sebuah quote yang SUPER (buat saya);
" 'hidup  jangan pernah disesali' ...salah!
'hidup jangan dikecewakan!' "
(Alm. Sori Ersa Siregar, mantan reporter senior RCTI ~ korban meninggal saat menjadi tawanan GAM)

0 komentar: